Fulton Oursler menceritakan suatu
kisah tentang seorang perawat yang lahir sebagai budak di panti timur
Maryland. Dia tidak hanya membantu kelahiran Fulton namun juga kelahiran
ibunya. Fulton menganggap perawat tersebut telah memberinya pelajaran
terpenting yang dia pernah pelajari tentang mengucap syukur dan
menemukan kepuasan.
Oursler mengenang:
Saya masih ingat dia yang suka duduk di dekat meja dapur dalam rumah kami; tangannya yang keras, tua dan
berwarna gelap menyilang di atas celemeknya yang kaku karena kanji.
\
Matanya bersinar dan suaranya yang parau terdengar, "Terima kasih, Tuhan,
atas pemeliharaan-Mu untukku."
"Anna," tanya saya,"Apakah itu pemeliharaan?"
"Itu adalah apa yang saya makan dan minum--itu adalah pemeliharaan," jawab perawat tua itu.
"Namun, kita tetap dipelihara, baik saat berterima kasih maupun tidak berterima kasih kepada Tuhan,"
"Tentu," kata Anna, "namun mengucap syukur membuat segala makanan terasa lebih enak."
Kemiskinan bukanlah kondisi kantong bagi banyak orang, namun kondisi
pikiran. Apakah kita menganggap diri kita kaya atau miskin saat ini?
Apakah yang benar-benar kita anggap sebagai "kekayaan" dalam hidup kita? "Anna," tanya saya,"Apakah itu pemeliharaan?"
"Itu adalah apa yang saya makan dan minum--itu adalah pemeliharaan," jawab perawat tua itu.
"Namun, kita tetap dipelihara, baik saat berterima kasih maupun tidak berterima kasih kepada Tuhan,"
"Tentu," kata Anna, "namun mengucap syukur membuat segala makanan terasa lebih enak."
Jika kita mencantumkan benda-benda yang non-materi semata, maka kita benar-benar kaya.
"Ada orang yang berlagak kaya, tetapi tidak mempunyai apa-apa, ada pula yang berpura-pura miskin, tetapi hartanya banyak." (Amsal 13:7)
Bagaimana dengan kita sebagai anak Tuhan? Apakah kita kaya berlagak miskin atau miskin berlagak kaya? Saya percaya Tuhan tidak setuju dengan dua-duanya, yang Tuhan inginkan adalah kita tetap menjadi diri kita sendiri seperti kondisi kita saat ini. Tetap mengucap syukur dan menyadari bahwa kita hidup karena anugerah-Nya.