“But to as many as did receive and welcome Him, He gave the authority to become the children of GOD, that is, to those who believe in His name” (John 1:12)

Friday 7 May 2010

Tukang Sampah Kecil

Malam itu hati Daliman merasa sedih, karena sejak siang tadi kakeknya tidak bisa bangun dari tidur. Kakek sakit, badannya panas dingin karena kemarin kehujanan. Hati Daliman bingung, apa yang harus dilakukannya? Kakek selalu mengerang badannya terasa meriang ngga karuan. Daliman sudah mengompres keningnya, tapi sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda penyakit kakek berkurang.

"Kakek makan bubur dulu ya?" Tawar Daliman, tapi sang kakek menggeleng.

"Sejak siang tadi perut kakek belum terisi, padahal kakek harus minum obat, nanti tidak lekas sembuh lho kek," bujuk Daliman yang akhirnya membuat sang kakek mau menyantap sepiring bubur atau jenang nasi itu. Hanya beberap sendok saja, setelah itu kakek menolak untuk menghabiskannya.

"Kalau begitu ini obatnya di minum kek."

"Obat? Obat apa?"

"Ini pemberian bu dokter Nani, kakek harus meminumnya biar lekas sembuh."

"Kakek tidak pernah minum obat. Sejak masih muda jika sakit kakek tak pernah minum obat, nanti juga sembuh sendiri."

"Itu kan dulu kek, sekarang kalau kakek sakit harus segera diobati, biar tidak parah. Lagi pula kakek sudah tua, daya tahan tubuhnya tentu lain dengan waktu masih muda. Bukankah besok kakek harus kerja."

Akhirnya kakek luluh juga hatinya, begitu mendengar kata KERJA ia seperti mendapat semangat untuk sembuh. Bekerja menjadi TUKANG SAMPAH adalah pekerjaan kakek sehari-hari. Itulah tulang punggung kehidupan mereka, Daliman memang hanya hidup bersama kakeknya. Ayah ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi, kini ia hidup berdua dengan kakeknya saja.

Setelah minum obat, sang kakek bertanya pada Daliman. "Kau tidak belajar le?"

"Sudah kek, tadi siang sepulang sekolah aku langsung mengerjakan pe-er."

"Kalau begitu sekarang kau tidurlah, kau tentu lelah sekali karena seharian membersihkan kebun."

"Ah tidak kek, biarlah saya menemani kakek di sini." sang kakek mengelus-elus kepala cucunya yang baru kelas 6 SD itu. Tak terasa matanya mengerjab-kerjab karena basah oleh airmata.

"Kamu harus jadi anak yang pandai, Man. Jangan jadi tukang sampah seperti kakek, atau jadi kuli bangunan seperti bapakmu." kata kakek pelan.

"Apakah jadi tukang sampah atau kuli batu itu hina, kek?" tanya Daliman, sang kakek menggeleng.

    "Bukan hina, tapi sengsara. Apakah kau mau jadi orang sengsara? Kerjanya berat, bayarannya sedikit. Untuk bayar sekolahmu saja kakek mesti berhutang....huk..huk...huk...." kakek terbatuk, dengan cepat Daliman meraba tengkuk kakek dan dipijatnya.

     "Sebaiknya kakek segera istirahat, biar saya menjaga kakek di sini."

     "Sudahlah le, kau tidur sekalian saja dekat kakek, besok pagi kamu sekolah," Daliman mengangguk dan merebahkan diri di sebelah kakeknya. Suara reot dipan dari bilah bambu itu terasa berat menerima bebannya. Dengan berselimut sarung butut, tak lama kemudian Daliman sudah pulas. Sang kakek kembali mengelus kepalanya.

     "Oh Tuhan, semoga engkau memberkati cucuku ini, agar menjadi anak yang baik, berbahagia dalam hidupnya nanti," doa kakek penuh pengharapan, airmatanya luruh dan kemudian sesenggukan, mengharukan.

                                                                       *****

     Seperti biasa Daliman selalu bangun pagi sebelum ayam berkokok, ia melihat sang kakek tampak pulas, ia memandangnya, kerut di mukanya menandakan perjalanan panjang sang kakek yang begitu setia mengasuhnya, kumis dan janggutnya sudah memutih tak teratur, begitu pula rambutnya. Sampai kapan kakek bertahan bersamaku? Bathin Daliman seraya menghela nafas dalam-dalam. Ia tak tega untuk membangunkan kakeknya, padahal pagi ini kakek punya tugas mengambil sampah dari rumah ke rumah seperti biasanya. Daliman merasa kasihan untuk membangunkannya, tangannya yang kecil berbungkus kulit yang keriput membuatnya semakin terharu.

     "Biarlah kali ini aku yang menggantikan tugas kakek mengambil sampah itu, aku toh kuat mendorong gerobak sampahnya, karena aku sering membantunya bila hari minggu. Hari ini aku akan bolos sekolah dulu." bathin Daliman memutuskan.

     Pelan-pelan Daliman membuka pintu, agar kakeknya tak terganggu. Ia mulai menarik gerobak sampah yang diparkir di samping rumah bambunya itu. Setelah itu ia mulai mengambil sampah dari tong-tong sampah para tetangganya.

     Seorang ibu tampak terkejut ketika melihat tukang sampahnya lain dari biasanya. Ia bukan seorang kakek tua, melainkan bocah kecil sekitar 11 tahun usianya.

     "Tumben kamu yang tugas, Man. Kakekmu di mana?" sapa bu Wongso penjual nasi yang buka tiap pagi di kampung itu.

     "Kakek sakit bu," mendengar itu bu Wongso terkejut.

     "Sakit apa?"

     "Barangkali demam bu, soalnya kemarin kehujanan," jawab Daliman sambil memasukkan sampah ke gerobaknya.

     "Sudah di bawa ke Puskesmas?"

     "Kakek tidak mau. Tapi kemarin sudah saya mintakan obat sama bu Nina yang dokter itu bu."

     "Kalau begitu, nanti setelah selesai mengambili sampah kamu ke sini ya, aku beri JENANG untuk kakekmu."

    "Matur nuwun bu, nggak usah repot-repot."

    "Sudahlah, kakekmu sangat berjasa di kampung sini, tanpa kamu dan kakekmu siapa yang mau membuang sampah-sampah ini? Anggap saja jenang ini sebagai balas budi kami kepada kalian, selama kakekmu belum sembuh, kau ambil ke sini jenang atau nasi ya?"

     "Iya, matur nuwun bu Wongso,"  kata Daliman sambil meneruskan mendorong gerobak sampahnya. Sampah-sampah itu dikumpukan dalam gerobaknya, setelah itu ia bawa pulang, biasanya ia dan kakeknya memilih sampah-sampah yang masih bisa untuk dijual lagi, sisanya ia pendam di kebun belakang rumahnya, untuk kemudian dibakar. Walau rumahnya sederhana, tapi ia mempunyai kebun yang lumayan luas untuk menampung sampah, sementara barang rongsokan yang bisa dijual disimpan di kandang bekas kambing, dan setiap seminggu sekali ada yang membelinya. Selain gaji bulanan dari menarik sampah itu, uang mingguan dari menjual barang bekas itu cukup lumayan untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang ditabung untuk keperluan sekolahnya.

     "Kenapa kau tidak membangunkanku, Man?" tegur kakek ketika melihat Daliman pulang dengan peluh membasah di sekujur tubuhnya.

     "Kakek kan baru sakit. Apa salahnya kalau aku menggantikan tugas kakek?" jawab Daliman datar.

     "Tapi kau kan sekolah?"

     "Maksudku tadi mau bolos kek, tapi ternyata baru setengah tujuh, pekerjaan sudah selesai, jadi masih ada waktu untuk bersiap-siap berangkat sekolah," kata Daliman sambil memberikan bungkusan Jenang pemberian bu Wongso.

     "Apa itu?"

     "Jenang dari bu Wongso untuk sarapan kakek."

     "Kamu hutang ya?"

     "Tidak kek, itu enggak bayar. Malah bu Wongso tadi bilang, mulai hari ini akan menjatah kita dua bungkus."

     "Ah, kau merepotkan orang saja."

     "Tidak kek. Katanya bu Wongso merasa senang bisa menjatah kita. Karena dia bilang bisa turut membalas budi kita. Coba saja kalau tidak ada kita, siapa yang membuang sampah-sampah itu?"

     "Kau ini ada-ada saja. Memangnya kita ini begitu berarti bagi mereka."

     "Tentu saja kek. Sekalipun hanya tukang sampah, tapi kita termasuk pahlawan lho, pahlawan kebersihan kata pak guru di sekolah he he he...."

     Sambil tersenyum sang kakek menjawab, "Tapi meski demikian kelak kau tidak boleh menjadi tukang sampah, kau harus jadi orang besar, le!"

     "Ya kek," sahut Daliman dengan hati riang ia membuka bungkusannya, nasi gudeg dengan separuh telur ayam, ia santap cepat-cepat untuk segera berangkat ke sekolah. Sang kakek pun rupanya sudah agak baikan, ikut menemaninya makan pelan-pelan.